Ramadhan 1435 H, adalah Ramadhan yang dipenuhi dengan beragam kesibukan. Sudah lama saya tidak jalan-jalan lagi setelah terakhir jalan-jalan ke Giri Tirta Kahuripan, berenang menikmati Skypool di sana. Akhir pekan di bulan Ramadhan kali ini lebih banyak dihabiskan di rumah, atau acara buka bersama yang membuat dompet semakin gersang. Istilah teman-teman saya "buka bersama sampai mati" karena hampir setiap hari bahkan hingga penghujung Ramadhan ajakan buka bersama selalu menghampiri.
Hingga akhirnya di beberapa hari terakhir Ramadhan 1435 kali ini barulah saya mendapatkan hari libur. Anehnya setelah mendapatkan hari libur, saya malah bingung mau jalan-jalan kemana. Teman-teman kebanyakan sibuk persiapan pulang ke kampung halamannya masing-masing. Yang lain sibuk mempersiapkan kebutuhan hari raya. Mungkin hanya saya saja yang malah sibuk memikirkan "mau jalan-jalan ke mana kita kali ini?"
Jujur saja saya tidak terlalu tertarik dengan acara belanja atau pun hal-hal yang bersifat persiapan lebaran. Belanja mendekati hari raya saya pikir lebih konsumtif, terkadang tidak rasional, berdesak-desakan hingga mengorbankan puasanya, sesuatu yang jadi tradisi di negara kita. Hukum ekonomi berlaku ketika mendekati hari raya, dimana harga barang-barang menjadi jauh lebih mahal daripada biasanya. Sehingga saya tidak tertarik dan biasanya memilih berbelanja jauh-jauh hari sebelum ramadhan atau malah saya lebih sering berbelanja di hari-hari setelah lebaran. Percaya atau tidak harga yang ditawarkan jauh lebih murah dari biasanya. Penasaran? Coba saja.
Kembali ke jalan-jalan, pagi itu Minggu 27 Juli 2014 saya bangun agak siang. Saya menginap di rumah teman saya di Pasteur. Selepas Shubuh saya tidur dan bangun pukul setengah delapan pagi. Rasa kantuk hilang setelah melihat cuaca cerah saat itu. Sangat disayangkan jika saya melewatkannya dengan bangun terlalu siang. Ayo kita nikmati hari ini, pikirku saat itu.
Pukul setengah sembilan pagi itu saya melenggang melaju melewati Jalan Dr. Djundjunan yang pagi itu sangat lengang dan cerah. Momen yang jarang ditemui dihari-hari lain, apalagi dihari Minggu seperti sekarang ini yang biasanya jalanan ini sudah dipadati kendaraan dari berbagai daerah.
Melaju ke arah Barat saya masih berpikir kemana saya hari ini. Tadi teman-teman saya masih tidur dan mungkin dua jam kemudian baru bisa tersadar. Lebih baik saya nikmati saja hari ini sendirian daripada harus mengulat di kasur. Selepas pintu tol saya belokan arah motor saya ke kiri ke arah Cimahi. Oke saya mandi dulu, saya baru ingat kalau saya belum mandi pagi ini. Saya pacu motor saya menuju kosan di Cimahi untuk sekedar memperbaiki penampilan dan bau badan hari ini.
Jam sepuluh pagi itu matahari mulai meninggi. Dari Cimahi saya pacu motor saya menuju Ciwidey melewati jalur Leuwigajah-Margaasih-Patrol-Soreang-Ciwidey. Tujuan saya hari ini adalah perkebunan Teh Rancabali. Saya coba untuk menengok tempat eksotis di ujung Selatan Bandung ini. Terakhir kali saya melewati daerah ini sekitar bulan Maret 2013 saat jalan-jalan ke Pantai Jayanti saat itu. Kebetulan cuaca cerah, nampaknya akan menyenangkan jika jalan-jalan ke Kebun Teh Rancabali.
Jalanan tak terlalu ramai saat itu, cenderung sepi. Jalur yang dulu saya lewati jika Baleendah-Dayeuhkolot banjir. Jalur Soreang-Cimahi ini mungkin tak asing bagi para bobotoh yang sering pergi ke Stadion Jalak Harupat. Jika banjir melanda Baleendah-Dayeuhkolot, saya harus memutar jalan dari rumah di Ciparay menuju Cimahi melewati jalur ini. Itupun jika jalur Cibaduyut macet total. Tentu saja saya paling benci macet, saya lebih baik memutar jalan agak jauh tetapi lancar daripada harus berdesak-desakan dalam kemacetan walau waktu tempuhnya sama.
Saya lupa hari itu hari Minggu, di kantor Pemkab Soreang tentunya pasar Tumpah semacam Gasibu di Bandung membuat jalan agak tersendat. Walaupun hari terakhir Ramadhan, pasar tumpah ini masih tetap saja ramai menjelang siang hari. Berputar-putar mencari jalur melewati kemacetan akhirnya saya menikmati lagi jalanan lengang melewati "Jalan Anyar" di Soreang menuju Ciwidey.
Menuju tengah hari matahari makin meninggi tetapi tidak terlalu panas, bahkan udara semakin sejuk setelah melewati terminal Ciwidey. Inilah yang jadi ciri khas wilayah dataran tinggi di sekitar Bandung yang membuat wisatawan dari berbagai daerah berbondong-bondong datang kesini di musim libur. Saya yakin esok hari saat lebaran, jalur ini akan macet. Jadi saya senyum-senyum saja saat bisa melenggang menikmati jalanan kosong menuju Ciwidey kali ini.
Saya masih ingat ketika dulu saat libur tahun baru 1 Januari 2012 saya berkunjung ke sini dengan keadaan macet luar biasa. Banyak motor matic terbakar CVT nya karena harus melewati jalur menanjak dalam keadaan macet. Jangankan untuk maju, niat saya untuk kembali pulang ke Bandung pun sulit. Akhirnya saya berhenti pukul setengah lima sore di Taman Unyil, beberapa km sebelum kawah putih karena sudah tidak mungkin lagi melanjutkan perjalanan. Padahal saya berangkat pukul setengah satu siang dari Bandung. Hal inilah yang membuat saya menghindari jalan-jalan kesini di hari libur panjang.
Beberapa kali saya berpapasan dengan motor penuh barang belanjaan. Sepertinya warga disini sudah hafal betul jika besok akan ada ribuan wisatawan dari berbagai kota datang ke sini. Tentunya akan ada banyak warung dadakan sepanjang jalan menuju tempat wisata di Ciwidey ini. Warung yang mungkin hanya sekedar menyediakan jajanan pasar, kopi ataupun minuman ringan di musim liburan. Namun hal ini terbukti bisa mengangkat perekonomian masyarakat di sini.
Kawah Putih, Cimanggu, Ciwalini saya lewati kali ini. Nampak sepi pengunjung di hari terakhir puasa ini. Beberapa motor yang berbarengan dari Bandung ternyata juga melewati tempat wisata ini. Rupanya mereka akan mudik ke daerah Cianjur Selatan melewati jalur ini. Jalur Ciwidey ini merupakan jalur alternatif menuju Kabupaten Cianjur. Daerah Kabupaten Cianjur seperti Cidaun, Pagelaran, Sindangbarang relatif lebih dekat jika ditempuh melewati jalur Ciwidey daripada lewat jalur Cianjur Kota. Sehingga pemudik bersepeda motor lebih memilih jalur ini walaupun di beberapa kilometer jalannya tidak layak dilewati. Seperti di daerah selepas Naringgul, atau daerah Cipelah menuju Pagelaran.
Setelah beberapa lama akhirnya sampailah di wilayah Perkebunan Teh Rancabali, tujuan jalan-jalan saya di hari ini. Jalanan yang menurun dan berkelok kelok membuat saya melepas selongsong gas, membuka lebar kaca helm dan masker, merasakan terpaan angin sejuk yang menyegarkan menyentuh wajah. Saya biarkan sepeda motor berjalan sesuka hati, berbelok dengan sedikit memiringkan badan mengikuti liukan jalan. Nampak saya intip dari kaca spion tak ada kendaraan lain di belakang. Saya ambil beberapa gambar di sini. Sesekali saya tengok sekeliling dan berhenti untuk menikmati hijaunya pemandangan. Benar-benar menenangkan hati.
Setelah melewati Situ Patengan, jalanan semakin sepi, hanya ada beberapa warga yang lewat lalu setelah itu suasana hening kembali. Jalanan yang menurun membuat saya membiarkan motor melaju sambil menekan kopling hingga suara mesin lebih hening mengikuti suara terpaan angin di wajah. Nampak beberapa mobil berplat B terparkir di pinggir jalan, mereka pun menikmati hal yang sama. Menikmati hening dan hijaunya perkebunan teh Rancabali secara pribadi, serasa milik sendiri. Nampak warung-warung dadakan dibiarkan kosong karena mungkin daerah ini memang sepi di bulan Ramadhan namun akan ramai pengunjung di hari lebaran.
Di sebuah spot kelokan dan turunan saya berhenti dan parkirkan motor saya. Tempatnya lumayan nyaman, saya bisa sejenak leyeh-leyeh di sana. Berbaring memandang perkebunan teh di ujung sana, di bukit terakhir menuju Balegede.
Sesekali suasana hening pecah oleh suara knalpot bobokan dari sepeda motor yang lewat. Saya perhatikan warga sini dan warga-warga di tempat lain yang tinggal di daerah dengan kontur jalanan naik turun seperti di Rancabali ini lebih memilih memasang knalpot berisik seperti itu. Mungkin untuk meningkatkan tenaga motor agar kuat dipakai menanjak setiap hari. Tetapi biarlah, toh disini sepi, beda dengan di kota jika motor seperti itu lewat mungkin sudah dilempari batu.
Saya lebih memilih memejamkan mata, menikmati udara segar dan juga keheningan Perkebunan Teh Rancabali di Akhir Ramadhan ini.