Curug Citambur, sebuah air terjun di ketinggian sekitar 100 meter. Terletak di antara perbatasan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur, tepatnya di desa Karang Jaya, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Cianjur. Walaupun letaknya di Kabupaten Cianjur, namun tempat ini lebih dekat jika ditempuh dari wilayah Ciwidey. Jaraknya sekitar 80 km dari kota Bandung atau sekitar 40 km dari Ciwidey. Bagi masyarakat di daerah Ciwidey, mungkin sudah terbiasa mendengar nama Curug ini. Tapi lain halnya dengan masyarakat di daerah lain, terutama di Kota Bandung. Nama Curug Cimahi atau Curug Malela mungkin lebih populer di telinga orang Bandung di bandingkan nama Curug Citambur.
Awal mula saya mengenal Curug Citambur adalah dari sebuah foto di Facebook Bapak T. Bachtiar sekitar bulan Januari 2014. Di Facebooknya beliau menceritakan mengenai keindahan curug ini. Sudah sejak dulu saya ingin mencicipi keelokan tempat ini, namun nampaknya kesempatan itu baru bisa terwujud di bulan Syawal 1435 H ini, tepatnya di hari 4 lebaran atau hari Kamis 31 Juli 2014. Liburan yang masih panjang dan cuaca cerah memang mendukung perjalanan saya kali ini ke Curug Citambur.
Berangkat dari rumah saya di Ciparay pukul 06.30 pagi, saya berniat untuk menghindari macet di daerah wisata Ciwidey. Berjalan menyusuri Ciparay-Baleendah-Banjaran-Soreang saya berjanji untuk berkumpul bersama dua orang teman saya di Masjid Agung Soreang. Jalanan ketika itu masih sepi, orang-orang masih bergembira di kampung halamannya masing-masing. Sedangkan saya yang asli warga Bandung begitu menikmati perjalanan tanpa kemacetan di pagi itu. Tak perlu waktu lama, sekitar pukul 07.15 saya sudah bertemu dua orang teman saya di sana. Tukang Bubur Ayam di seberang Swalayan Borma awalnya begitu menggoda perut saya ketika itu, namun teman saya menyarankan untuk makan di daerah Ciwidey saja karena semakin siang Ciwidey akan semakin macet.
Setengah delapan pagi di hari itu kami langsung meluncur melahap jalanan menanjak menuju Ciwidey. Jalanan masih lancar hingga melewati Terminal Ciwidey. Teman saya yang sepertinya sudah hapal betul suasana Cwidey di hari Lebaran nampak sudah melesat jauh di depan meninggalkan saya seorang diri. Saya lebih banyak menahan laju motor menikmati pancaran mentari di pagi itu. Dan memang benar ternyata, saya sempat terjebak macet di beberapa tempat karena ternyata sudah banyak kendaraan dari arah Bandung yang menuju Ciwidey. Tak ingin terlalu lama terjebak macet akhirnya saya pun ikut memacu motor saya lebih cepat, menghiraukan pemandangan pagi daerah Ciwidey untuk secepatnya menuju Perkebunan Teh Rancabali.
Beberapa hari yang lalu rasanya saya melewati tempat ini dengan lancar. Sehari sebelum lebaran saya sempat melewati jalanan ini di siang hari menuju tempat yang sama, Rancabali. Rasanya berbeda 180 derajat dengan sekarang. Orang tua dan anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak, teteh-teteh, aa-aa berebut laju menuju Ciwidey. Masing masing dengan pakaian baru, sepatu baru dan juga kebahagiaan baru terpancar dari wajah mereka. Saya turut bahagia melihat suasana ini, ketika semua orang terlihat bergembira bersama-sama, sejalan dengan makna Meraih Kemenangan setelah melaksanakan ibadah Shaum sebulan penuh. Keluarga kecil nampak bersepeda motor ria, ada juga yang menaiki mobil bak terbuka dengan kain terpal menutupi di atasnya, agar keluarga besar yang biasanya terdiri dari Kakek, Nenek, Anak-Anak dan Cucu mereka bisa berwisata bersama tanpa kepanasan dengan biaya yang murah meriah. Bahagia itu sederhana kalau istilah anak muda sekarang.
Gerbang Kawah Putih lumayan lancar dilewati, walaupun pagi itu sudah banyak mobil luar kota hendak masuk. Laju motor melambat melewati padatnya kendaraan, tetapi saya masih bisa memacu motor tanpa menyentuhkan kaki di aspal. Laju kendaraan akhirnya benar-benar berhenti ketika melewati pintu masuk Ciwalini. Kali ini arus lalu lintas sempat stuck karena padatnya kendaraan yang hendak masuk Ciwalini.
Selain padat oleh orang-orang yang mau berwisata, jalur Ciwidey ini juga dipadati oleh para pemudik yang hendak pergi ke daerah Cianjur. Daerah Cianjur Selatan seperti Cidaun, Pagelaran lebih dekat jika ditempuh lewat jalur Ciwidey ini. Bisa dibayangkan menurut warga di daerah Pagelaran yang sudah terbiasa memasarkan hasil tani dan membeli keperluan lain dari Pasar Induk Caringin, jika ingin pergi ke Bandung mereka hanya membutuhkan waktu 2.5 jam lewat jalur Ciwidey, sedangkan jika lewat Cianjur kota, mereka membutuhkan waktu sekitar 7 jam perjalanan. Pantas saja di hari itu kendaraan di Ciwidey didominasi oleh Plat D, B, dan F.
Setelah bersabar menunggu kemacetan diurai, akhirnya motor bisa melaju kembali menuju Rancabali. Kendaraan menuju Patengan dan Rancabali rupanya tidak sebanyak tadi, jalur ini lebih lancar karena nampaknya wisatawan lebih banyak menuju Kawah Putih, Cimanggu dan Ciwalini. Warung-warung dadakan banyak berjejer dikunjungi para wisatawan di sepanjang jalan di Perkebunan Rancabali ini. Hijaunya perkebunan serasa menyejukkan mata, menyegarkan raga.
Berhenti sejenak sambil mengistirahatkan mesin motor yang sedari tadi meraung merayapi aspal menanjak, tiba-tiba saja teman saya menghampiri. Saya pikir mereka berdua sudah sampai duluan. Rupanya ada seorang lagi teman saya yang ingin menyusul. Jadi genaplah perjalanan kali ini diikuti empat orang. Namun rupanya kita harus menunggu dulu dia datang, rencana awal kita menikmati Curug Citambur dari pagi hari harus sedikit dirubah.
Sembari kita menunggu seorang teman yang ingin ikut gabung, saya putuskan untuk mencari tempat makan. Godaan Bubur Ayam di Soreang tadi masih terngiang di pikiran ini. Namun saya cari-cari di sini tak ada tukang Bubur Ayam.
Berhenti sejenak dikawasan yang berlatar belakang Gunung Patuha, sambil sesekali mencari tempat untuk menikmati secangkir kopi. Jam menunjukkan pukul 08.30 pagi dan semakin beranjak siang. Kendaraan semakin banyak berlalu lalang namun kebanyakan warga lokal dan juga pemudik yang lewat menuju arah situ Patengan dan juga Naringgul. Tujuan kita kali ini, Curug Citambur tidak akan melewati jalur Situ Patengan, tetapi berbelok ke arah Perkebunan Sinumbra, berjalan ke arah Barat menuju desa Cipelah.
Di pertigaan menuju Perkebunan Sinumbra, kita bertiga berhenti si sebuah warung makan, sekedar menikmati sarapan pagi. Mengisi tenaga agar bisa menikmati perjalanan menuju Curug Citambur dengan kondisi fit.
Tak ada menu istimewa di warung tersebut. Hanya ada menu ayam goreng dan beberapa tumis. Bosan dengan ayam goreng yang jadi menu utama semenjak buka bersama bulan puasa kemarin, akhirnya saya makan cukup dengan beberapa jenis tumis saja, ditemani segelas teh tawar panas, nikmat rasanya ditemani suasana sejuk kala itu.
Pukul sepuluh lewat, yang ditunggu akhirnya datang juga. Dedi datang seorang diri dengan motor maticnya siap bergabung dalam perjalanan kita kali ini menuju Curug Citambur. Tanpa menunggu lama akhirnya kita berbelok ke kanan, ke arah Barat menuju perkebunan Sinumbra.
Setelah berbelok, kita akan disuguhi pemandangan perkebunan Teh yang tak kalah indah dibandingkan dengan Rancabali, kondisi jalan lumayang baik namun semakin lama semakin banyak ditemui aspal mengelupas di sana sini. Motor saya tak bisa melaju lebih dari 30km/jam karena seekali harus melambat melewat jalanan dengan aspal rusak dan jalanan berpasir. Namun sejauh ini perjalanan masih menyenangkan untuk dinikmati, terutama beberapa spot pemandangannya yang menggoda saya untuk melirik di tengah fokus mengendarai.
Sesekali kami berpapasan dengan sepeda motor berplat F, rupanya banyak juga orang Cianjur yang nampaknya hendak berwisata ke Ciwidey. Ada juga beberapa plat D baik itu motor maupun mobil pribadi. Cuaca cerah membuat sebagian pemotor berhenti di pinggir jalan sekedar mengabadikan diri lewat kamera berlatar belakang perkebunan Sinumbra.
Jalanan berliku dengan kontur menurun harus kita lalui untuk menuju Curug Citambur ini, terkadang juga kita menemui jalanan bercabang yang lumayan membingungkan. Untung saja saat itu jalanan ramai, mungkin karena musim liburan jadi kita bisa mengikuti pengendara lain. Namun jika memang bingung, ikuti saja jalur jalan yang lebar. Tanyakan saja jalur menuju desa Cipelah karena desa inilah yang menjadi titik checkpoint perjalanan kita kali ini.
Jarak dari pertigaan di Rancabali menuju desa Cipelah sekitar 20 kilometer, bisa ditempuh dengan waktu sekitar satu jam karena laju motor tak bisa lebih dari 30km/jam, dan rupanya sepanjang itulah jalanan dengan kondisi baik yang bisa kita temui. Setelah melewati Desa Cipelah, yakni daerah pasar semacam alun-alun, maka jalanan yang kita lewati mulai memprihatinkan.
Entah karena musim lebaran, atau memang setiap hari seperti itu, sepanjang perjalanan saya menemui 3 kali aksi pungutan liar. Karena jalanan rusak, warga di sekitar berinisiatif memperbaiki jalan dengan menambal dengan bahan seadanya, namun warga tersebut juga meminta sumbangan dengan setengah memaksa atas kerjanya tersebut. Setiap pengendara yang lewat diberhentikan dan disuruh untuk memberikan sumbangan. Walaupun dengan seribu rupiah untuk setiap motor sudah cukup membuat mereka mengucapkan terima kasih, namun hal ini saya rasa cukup mengganggu bagi pengendara. Utamanya pengendara yang baru pertama kali lewat ke sini tentunya akan merasa aneh dengan praktek seperti ini. Semoga saja hal ini terjadi di musim lebaran saja dan tidak terjadi di hari-hari yang lain. Ini juga menjadi perhatian bagi Bupati Bandung karena jalan rusak ini menjadi penyebab terjadinya praktek pungutan seperti ini dan jalanan ini masih masuk wilayah kabupaten Bandung.
Desa Cipelah kita lewati, jalanan yang kita lewati semakin membuat badan bergetar. Bukan lagi jalanan aspal yang kita lewati, melainkan seperti susunan batu yang dibuat untuk penderita rematik yang biasa terdapat di Taman Lansia. Semakin menakutkan ketika jalanan yang kita lewati merupakan turunan atau tanjakan karena ban motor terasa selip ketika menanjak ataupun ketika melambat melewati turunan. Jika berboncengan sudah pasti anda akan was-was melewati jalanan ini, sesekali teman saya yang berboncengan berdua harus berhenti dan turun karena takut jatuh atau motor tidak bisa menanjak. Ini terjadi di musim kemarau, lalu bagaimana jika di musim penghujan. Saya rasa bukan ide bagus untuk berkunjung ke Curug Citambur di musim penghujan. Melihat jalanan seperti ini, rasanya saya khawatir jika membawa wanita hamil kesini, bisa-bisa keguguran di jalan pikirku setengah bercanda.
Yang menurut saya paling mengerikan dalam perjalanan pergi menuju Curug Citambur ini adalah sebuah turunan di daerah Cisabuk (kalau tidak salah). Turunan yang berbatu dan lumayan licin disuguhkan dihadapak kita berempat. Di sekitarnya sudah banyak warga yang berdiri di pinggir jalan, bersiaga membantu pengendara yang mungkin bisa saja terjatuh. Mereka berkata "lalaunan jang, leueur" (Pelan-pelan, nak.. licin). Memang jalanan nya licin dan warga disana berinisiatif menaburi turunan tersebut dengan semacam kulit padi (huut dalam bahasa sunda) agar jalanan tidak terlalu licin, namun tetap saja membuat ban motor sedikit selip kala melewatinya. Motor saya sempat oleng menahan laju sambil ban selip saat menuruni jalanan ini. Warga mungkin sudah terbiasa melihat pengendara terjatuh di sini karena terdapat beberapa bekas selip dan goresan motor yang jatuh. Ngeri.
Pengendara yang berboncengan wajib menurunkan penumpangnya saat akan melewati turunan ini. Pengendara wanita yang berbarengan dengan kamipun harus meminta bantuan warga sana untuk membawakan sepeda motor maticnya menuruni jalanan ini. Sayapun harus menahan nafas saat menuruni jalan ini.
Sesampainya di sebuah SD (saya lupa kalau tidak salah namanya SD Cipelah) terlihat di kejauhan garis putih membujur memotong perbukitan. Ada banyak air terjun yang bisa kita saksikan dari kejauhan disini. Sepertinya kita hampir sampai, namun kita tidak tahu yang mana yang disebut Curug Citambur itu.
Karena yakin lokasi Curug Citambur sudah dekat, akhirnya kita tancap gas. Tak jauh dari sana kita melewati sebuah gapura bercat biru. Mungkin inilah perbatasan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur. Akhirnya setelah melewati Gapura tersebut, jalanan kembali mulus-lus-lus seperti jalanan perkotaan. Lega rasanya memacu motor di jalanan mulus seperti ini, sambil terus memperhatikan jatuhan air terjun yang terlihat dari kejauhan di dinding tebing.
Akhirnya sampailah di pintu masuk Curug Citambur di sebelah kanan jalan, tepat di depan kantor desa Karang Jaya. Waktu menunjukkan hampir tepat menuju jam 12 siang. Begitu masuk akan ada sebuah pemandangan berupa Danau atau Situ Rawasuro. Tiket masuk tempat wisata ini cukup murah, tiga ribu rupiah untuk satu orang pengunjung.
Sekitar 200 meter dari pintu masuk, kita harus melalui jalanan berbatu untuk sampai di tempat parkir berupa lapangan tanah berumput. Dari sini kita bisa melihat Air Terjun yang jatuh dari atas tebing di ketinggian sekitar 100 meter. Inilah dia Curug Citambur, Curahan Anugerah Tuhan di Perbatasan Bandung Cianjur.
Airnya nampak deras jatuh dari ketinggian, butiran air nampak memutih di sekitar jatuhannya. Kami mencoba mendekati sisi sebelah kanan dari Curug Citambur ini karena dari sinilah spot terdekat dengan jatuhan air yang bisa kita jangkau. Terlihat ribuan meter kubik air jatuh ke dasar curugan, bergemuruh. Konon dulu debit air Curug ini lebih besar daripada sekarang sehingga jatuhan air nya mengeluarkan suara burr..burr.. yang terdengar dari kejauhan, oleh sebab itulah Curug ini diberi nama Citambur.
Dari spot disini kita bisa melihat air mengelir melalui beberapa tumpukan batu bertingkat-tingkat hingga jauh ke bawah. Di bawah sana banyak juga pengunjung yang berenang menikmati segarnya aliran air dari Curug Citambur ini. Namun saya perhatikan tak ada pengunjung yang berenang di sekitar jatuhan air, entah karena dilarang atau karena memang jatuhan airnya yang deras sehingga tak ada yang kuat menahannya.
Semakin mendekat ke arah curug, butiran air yang terbawa angin semakin deras menerpa. Kamera dan juga pakaian saya pun dibuat basah olehnya. Hati-hati karena terkadang angin menerpa cukup kencang bisa membuat anda tidak seimbang saat berdiri di ujung-ujung batu dekat Curug Citambur ini. Saya juga sempat merasa pusing saat berdiri mengambil beberapa foto di puncak-puncak batu dekat Curug Citambur ini. Apalagi saat melihat ke dasar lembah tempat aliran Curug ini mengalir, terlihat sangat dalam dan juga membuat saya penasaran ingin mencoba berenang menikmati airnya.
Kamipun berpindah mengambil spot ke arah bawah curug melewati sawah-sawah di sekitarnya. Disini kita bisa berenang menikmati aliran air Curug Citambur yang sangat dingin.
Saat asik berenang, muncul pertanyaan "Berapa tinggi Curug Citambur ini??" Saya mendapatkan informasi dari Facebook pak T. Bachtiar mengenai tinggi Curug Citambur ini.
Tinggi air terjun ini pernah diukur oleh pak Reggi Kayong Munggaran, saat timnya berlatih di seni untuk pemanjatan gunung bersalju. Dari tambang yang dipakainya, diketahui tinggi tebing dari A ke C = 120 m. Dikurang A ke B = 2 m, jadi, tinggi air terjun itu = 118 m. Ditambah dari C ke D = 12 m. Jadi, tinggi Curug Citambur itu 118 + 12 m = lebih kurang 130 meter. Puas berenang membuat isi perut banyak terkuras. Di atas sebuah batu kita berempat membuka bekal nasi bungkus dari rumah. Isinya ya tidak mewah-mewah amat, kebanyakan tumis-tumis sisa masakan lebaran kemarin, hehe. Nikmatnya menyantap nasi berlatar air terjun dengan pemandangan tebing memanjang di kejauhan. Curug ini menghadap ke sebuah lembah yang nampak subur dialiri mata air dari bukit-bukit di sekitarnya.
Jam 3 sore rencananya kita segera bergegas pulang karena khawatir hari keburu gelap. Kami sempat ragu untuk melewati jalan yang kita lewati saat pergi. Apalagi sekarang perjalanan pulang akan lebih banyak disuguhi tanjakan. Sempat berbincang dengan tukang parkir di daerah Curug Citambur ini, beliau bercerita ada alternatif jalan lain yang bisa di tempuh menuju Bandung. Kita bisa melanjutkan perjalanan ke daerah Sukanagara, lalu menuju Cianjur kota untuk selanjutnya kembali ke Bandung lewat jalur Citatah-Padalarang. Namun jarak tempuhnya sekitar 7 jam perjalanan. Ya ampun!
Alternatif lainnya adalah kita bisa menuju wilayah Sindangbarang, untuk selanjutnya menyusuri Pantai menuju Cidaun, lalu berbelok ke kiri kembali ke arah Naringgul-Balegede-Rancabali-Ciwidey. Namun saya sudah hafal jalur ini dan memang sama-sama jauhnya dan sama-sama terjalnya. Apalagi sebentar lagi hari mulai gelap. Usulan terakhir si mang parkir ya lewat jalur tadi kita pergi. Beliau bercerita jalurnya memang terlihat ekstrim tapi yakin akan bisa dilalui mengingat saat ini jalurnya ramai, ttentunya banyak orang yang akan membantu jika terjadi sesuatu. lagi pula jalanan tidak seterjal jika musim kemarau. Beliau juga bercerita sering bolak balik Citambur-Pasar Induk Caringin untuk membeli keperluan warungnya dengan menaiki mobil bak terbuka lewat jalur tadi kita pergi dan hanya menghabiskan waktu 2.5 jam si pagi hari.
Well, pernyataan Tukang parkir yang terakhir ini sedikit membuat hati tenang. Akhirnya kita sepakat melewati jalan yang tadi kita lalui saat pergi. Berarti sekarang patokannya adalah Citambur-Cisabuk-Cipelah-Sinumbra-Rancabali-Ciwidey-Bandung.
Perjalanan pulang dimulai sore itu, jalanan mulus di daerah kabupaten Cianjur harus berakhir di wilayah perbatasan. Memasuki wilayah kabupaten Bandung, jalanan kembali rusak, berbatu dan berpasir. Benar-benar seperti track offroad, atau mungkin mirip dasar sungai kering.
Sebagai informasi, dalam perjalanan kali ini SPBU terakhir ada di wilayah Ciwidey. Jadi sebaiknya kita isi bensin full tank di SPBU Ciwidey saat pergi. Motor Jupiter MX teman saya yang dipakai berboncengan akhirnya harus minum bensin eceran di sini. Harganya lumayan mahal karena menurut pedangang, ini adalah harga lebaran, Rp 9000 / liter. Biasanya mungkin paling mahal antara Rp 7500-Rp 8000 / liter.
Walaupun jalanan terjal, namun perjalanan ternyata tak seberat yang kita kira. Tanjakan terjal yang saat perjalanan pergi tadi kita khawatirkan karena hampir-hampir sering jatuh saat menuruninya tidak terlalu sulit untuk di lewati. Memang harus menurunkan penumpang dibelakang agar motor bisa naik, namun syukurlah semuanya bisa dilewati dengan lancar. Jalanan semakin menanjak saat melewati jalan di depan SMPN 3 Rancabali, di sini satu jalur sudah dibeton namun sedikit hancur di sana sini karena kualitas betonnya yang buruk. Terbayang jika beton ini belum ada, akan sangat sulit bagi sepeda motor melewati tanjakan yang lumayan panjang dan berliku ini.
Akhirnya setelah melewati desa Cipelah, kita bisa menikmati kembali suasana perkebunan teh dan juga jalanan yang lebih manusiawi. Berarti dari sini kita tinggal menempuh 20 km lagi perjalanan yang lebih santai dibandingkan saat melewati jalur Cisabuk-Cipelah. Perjalanan pulang seperti tidak terasa karena begitu cepat, tidak seperti saat pergi. Rupanya benar kata tukang Parkir di Citambur tadi, jalanan ini tidak seseram yang tadi kita bayangkan. Sore itu matahari yang condong ke barat nampak membiaskan hijaunya pucuk-pucuk teh sehingga terlihat menguning.
Saat berkendara di tengah kebun teh, tiba-tiba dua orang anak memberhentikan kami karena minta tumpangan.
"Mang, ngiring ka sawah" teriak seorang anak
"Sawah di mana, kebon teh hungkul didieu mah" jawabku sambil berhenti
"Aya diditu" sambil menunjuk jalan ke depan
Entah kemana karena sepanjang perjalanan tadi saat pergi tak satupun sawah yang kulihat. Tapi biarlah, kasian juga mereka harus berjalan kaki.
Katanya mereka akan pulang sehabis main seharian, mereka berdua masih kelas dua SMP di SMPN 3 Rancabali yang tadi kita lewati. Lumayan jauh juga sekitar lebih dari 7 kilometer jalanan tadi kita lewati sedangkan menurut mereka setiap hari mereka berjalan kaki menuju sekolah karena tak ada angkutan apapun yang lewat sini. Paling jika ada pengendara motor yang tidak membawa penumpang mereka suka meminta tumpangan.
Setelah beberapa kilometer, kedua anak itu pun minta turun di sebuah daerah kubangan air. Semacam kolam dari air hujan. Kamipun meneruskan perjalanan pulang memberlah Sinumbra disinari mentari sore hari
Kebetulan memasuki pabrik perkebunan, ada sebuah masjid. Disana kami berhenti sejenak, melaksanakan shalat Ashar dan Dhuhur yang tadi terlewatkan. Waktu menunjukkan pukul empat sore. Kami perkirakan bisa sampai di rumah selepas maghrib.
Mesjid Miftahussalam ini menjadi checkpoint terakhir kami dalam perjalan pulang kali ini. Setelahnya kamipun melaju kencang menuju Rancabali yang sore itu kami pikir lengang, namun ketika mendekati Ciwalini, antrian kendaraan nampak memanjang tidak menunjukkan tanda-tanda akan bergerak sedikitpun. Kebanyakan dari mobil yang mengantri mematikan mesin mobilnya, tanda bahwa ini bukan macet biasa. Wisatawan dengan bak terbuka malah sempat memesan segelas kopi di warung pinggir jalan.
Akhirnya kami beriringan menyusuri arus berlawanan yang dari tadi nampak lengang. Sepertinya arus dari arah Bandung pun sama tersendatnya. Sesekali harus berdempetan dengan mobil dari arah berlawanan. Paling menjengkelkan jika mobil luar kota yang seenaknya saja membuang sampah ke jalan. Melemparnya lewat jendela tanpa melihat apakah ada pengendara lain atau tidak. Jadilah wisatawan yang santun hai pengendara mobil, saya pikir anda yang orang kota bermobil memiliki tata krama yang lebih baik, tapi ternyata lebih memalukan dari orang-orang yang tinggal di pedesaan.
Bau kopling dari mobil tercium menyengat, rupanya banyak bus dan mobil pribadi yang sedari siang hendak menuju Ciwalini sampai sore ini belum sampai ke tujuan. Untuk memutar balik saja sulit.
Akhirnya selepas Kawah Putih kami berempat terpisah oleh kemacetan. Hari juga sudah mulai gelap. Saya ingat ketika dulu terjebak macet seperti ini, ada jalan alternatif melewati perumahan penduduk di daerah dekat taman unyil. Letaknya ada sebelum taman unyil jika kita datang dari arah Kawah Putih, belok ke sebelah kanan. Ada warga sana yang turut membantu memberhentikan kendaraan lain untuk kendaraan yang akan berbelok ke sana. Namun rupanya jalannya tertutup portal dengan tulisan menggantung "MAAF JALAN DITUTUP, SEDANG ADA PENGECORAN" Sempat kecewa, namn ternyata seorang Bapak Hansip membukakan portalnya sambil berkata "Sok motor mah tiasa lebet" (silakan motor bisa masuk). Akhirnya saya lewati jalan alternatif ini, melewati perkebunan sayur milik warga dan juga perumahan yang tidak dilewati jika kita melewati jalan utama ke Ciwidey. Jalannya menurun dan sepi karena tidak ada pengendara lain yang tahu jalan ini selain warga sekitar. Saya sempat was-was takut tersasar ketika hari mulai gelap. Namun saya berpatokan selama jalannya menurun berarti saya menuju ke arah Bandung.
Benar saja tak lama kemudian saya bisa kembali memasuki jalan Raya di daerah alun-alun Ciwidey. Saya baru tahu rupanya ada jalan tembus dari Alun-Alun Ciwidey menuju taman unyil. Dari sini jalanan nampak lancar dan hari sudah gelap. Jam menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Saya lanjut membetot selongsong gas menuju jalur PasirJambu-Soreang-Banjaran-Baleendah hingga berakhir di rumah di Ciparay tepat pukul setengah delapan malam. Perjalanan ke Curug Citambur yang menakjubkan. Perjalanan lebih dari 12 jam yang tak akan pernah terlupakan.