Nama Usman Harun tiba-tiba saja menjadi polemik antara Indonesia dan Singapura. Penyebabnya, sikap Singapura yang memprotes nama tersebut dilekatkan pada kapal perang RI (KRI) yang baru dibeli TNI dari Inggris. Siapakah sebenarnya Usman Harun? Tidak banyak yang tahu nama Usman Harun sebenarnya berasal dari dua orang berbeda yang menjadi pahlawan nasional. Bahkan nama Usman Harun menjadi nama kompleks perumahan TNI AL di sejumlah wilayah.
Berdasarkan informasi yang dihimpun dari sejumlah literatur, nama Usman dan Harun terkait ketegangan hubungan politik-militer antara Indonesia dan Malaysia yang dikenal Konfrotasi Indonesia-Malaysia antara 1963-1965. Pada saat itu, Singapura masih bagian dari wilayah Malaysia.
Usman bin Haji Muhammad Ali di desa Tawangsari, Kelurahan Jatisaba, Kabupaten Purbalingga dari pasangan Haji Muhammad Ali dengan Rukiah pada 18 Maret 1943. Usman dikenal dengan sebutan Janatin atau Usman Janatin.
Sedangkan Harun terlahir dengan nama Thahir bin Said. Namun dikenal dengan sebutan Harun. Harun lahir dari pasangan Mandar dan Aswiyani di Pulau Keramat Bawean pada 4 April 1943. Sejak remaja Harun telah bekerja sebagai nelayan dan sering bermalam di pelabuhan Singapura. Karena itu, dia sangat mengenal peta dan kondisi Singapura.
Usman bergabung dengan pendidikan militer yang digelar Korps Komando Operasi Angkatan Laut di Malang, Jawa Timur pada 1 Juni 1962. Sementara Harun bergabung dengan TNI AL pada 1964. Pembukaan penerimaan personel ini untuk memenuhi kebutuhan TNI AL saat itu untuk menghadapi Operasi Dwikora. Usman ditunjuk sebagai salah satu relawan pada operasi militer Komando Siaga (Komando Mandala Siaga) pimpunan Laksamana Madya Omar Dani, dan ditempatkan di Pulau Sambu, Riau.
Usman menjalani pendidikan dasar militer di Gunung Sahari, pendidikan amphibi di pusat latihan Pasukan Pendarat di Semampir hingga latihan puncak di daerah Purboyo Malang selatan. Semua pendidikan ini diikuti oleh Usman hingga ia mendapatkan baret ungu. Pada tahun 1964, Usman mengikuti latihan tambahan berupa intelijen, kontraintelijen, sabotase, demolisi, gerilya, hingga perang hutan di Cisarua Bogor selama satu bulan.
Di sinilah Usman bertemu dengan Harun dan dan Gani bin Arup. Ketiganya cukup akrab apalagi setelah mendapat tugas operasi sabotase di Singapura pada 8 Maret 1965. Dua hari setelah penugasan, tepatnya 10 Maret 1965, ketiganya berhasil masuk ke Singapura dan melakukan pemboman di MacDonald House. Ketiganya berhasil melarikan diri. Usman dan Harun memilih jalur pantai menggunakan perahu motor sementara Gani memilih rute lain. Nahas, Usman dan Harun disergap patroli Singapura di laut pada 13 Maret 1965. Pengadilan Singapura lalu menjatuhkan vonis hukuman mati kepada keduanya.
Usman dan Harun lalu dihukum gantung di penjara Changi pada 17 Oktober 1968. Jasad keduanya dikembalikan ke Indonesia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Usman dan Harun diberi penghargaan sebagai pahlawan nasional melalui Keputusan Presiden No 050/TK/1968. Untuk mengenang nama Usman Janatin, pemerintah daerah Purbalingga membangun sebuah taman bernama Taman Kota Usman Janatin yang memiliki luas sekitar 3,5 hektar dengan biaya Rp 5,2 miliar.
Bagi keluarga sosok Sersan Usman Janatin adalah pribadi yang membanggakan. Dia pahlawan yang berani menjalankan tugas berat demi negara. Saat itu taruhannya memang tertangkap dan dihukum mati. Keluarga Usman di Purbalingga, masih mengenang perjuangannya. Artojo (72), adik ipar Usman menuturkan kakaknya itu pergi ke Singapura dalam mengemban tugas Dwikora untuk mengnyang Malaysia. Presiden Soekarno yang mengomandoi operasi Dwikora.
Pada tahun 1964 saat itu memang terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia. Perang tersebut berawal dari keinginan Federasi Malaya yang lebih dikenali sebagai Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1961 untuk menggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak kedalam Federasi Malaysia yang tidak sesuai dengan perjanjian Manila Accord.
Keinginan tersebut ditentang oleh Presiden Soekarno yang menganggap pembentukan Federasi Malaysia sebagai ‘boneka Inggris’ dan merupakan kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk baru serta dukungan terhadap berbagai gangguan keamanan dalam negeri dan pemberontakan di
Indonesia.
“Saat itu dia baru pulang bertugas Trikora di Irian Barat. Belum lama pulang dia dikirim lagi untuk tugas Dwikora ke Singapura untuk menggagalkan pembentukan negara Malaysia boneka Inggris,” jelas Artojo ditemui di rumahnya di Purbalingga beberapa waktu lalu. Usman merupakan anggota KKO yang disusupkan ke Singapura melalui jalur laut pada 8 Maret 1965. Bersama dua sukarelawan lainnya dia mengebom obyek vital di Singapura untuk membuat kepanikan warganya. Usai mengebom, Usman gagal kembali kepangkalan karena tertangkap oleh patroli laut setelah motorboat yang dikemudikannya kehabiasan bahan bakar.
“Usman tertangkap dan dijebloskan di penjara changi selama 3,5 tahun. Selama di dalam penjara dia selalu mengirimkan surat kepada keluarga disini. Dalam surat terakhirnya sebelum dia di hukum gantung dia berpesan kepada keluarganya agar tabah mendengar kabar duka atas telah diputuskannya hukuman mati terhadap dirinya serta berharap keluarga ikhlas dan dia memohon ampunan,” ungkapnya.
Usman dihukum gantung pada 17 Okteber 1968. Sebelum digantung ia sempat meminta agar jenazahnya dimandikan dengan air dari Indonesia dan dimakamkan di tanah bumi pertiwi. Kini jenazahnya telah dimakamkan di Makam Pahlawan Kalibata. Sejumlah fotocopian surat-surat Usman saat masih dipenjara serta bukti penghargaan, album foto dan data-data lainnya masih tersimpan rapih di rumah mungilnya.
“Yang saya simpan saat ini adalah fotocopian surat-surat Usman saat di penjara. Yang aslinya sudah di musiumkan di Jakarta, jelasnya. Saat ini untuk mengenang kepahlawanannya, Nama Usman Janatin diabadikan menjadi nama taman kota di Purbalingga.
Cerita aksi Usman dan Harun mirip film pasukan khusus Hollywood. Menyusup dan menyerang langsung ke jantung pertahanan musuh. Saat itu mereka mendapat tugas melakukan sabotase di Singapura yang banyak dihuni tentara sekutu. Usman yang bernama asli Janatin kebetulan punya keahlian melakukan sabotase. Usman dan Harun kini dijadikan nama kapal perang TNI Angkatan Laut, KRI Usman Harun.
Usman yang lahir di Purbalingga pada 18 Maret 1943 mengikuti pendidikan Korps Komando Angkatan Laut sejak 1962. Berbeda dengan rekannya, Harun yang lahir 4 April 1943 di Bawean baru masuk pendidikan dua tahun kemudian. Sebelum sama-sama melakukan operasi di Singapura, keduanya sudah bertemu di Tim Brahma I di Basis II Ops A KOTI.
Malam itu, 8 Maret 1965, Usman dan Harun ditemani Gani bin Aroep menyusup ke daratan Singapura. Gani juga prajurit KKO (Komando Korps Operasi, sekarang Marinir) dan beberapa kali melakukan operasi mata-mata ke daratan Singapura. Ketiganya berangkat dari Pulau Sambu, salah satu pulau di Kepulauan Batam. Pulau Sambu merupakan pangkalan minyak milik Pertamina (dahulu Shell) yang dibangun sejak 16 Agustus 1897. Jarak dari Pulau Sambu ke daratan terdekat Singapura sekitar 13 kilometer.
Setelah sampai di daratan Singapura, ketiga prajurit KKO itu melakukan observasi memilih fasilitas apa yang akan dijadikan target sabotase. Ketiganya melakukan penyamaran menjadi pedagang. Gani yang wajahnya mirip etnis Tionghoa dapat kemudahan membaur. Akhirnya Hotel Mac Donald dekat Stasiun Dhoby Ghaut dipilih menjadi target. Hotel itu dipilih karena banyak dihuni warga Inggris.
Pada 10 Maret 1965, pukul 03.07, ketika banyak penghuni hotel tertidur, Usman dan Harun meletakkan bom seberat 12,5 kilogram. Harian The Straits Times menggambarkan, bom ditaruh di dekat lift lantai 10. Akibat ledakan itu, masih menurut The Straits Times, kaca jendela dalam radius 100 meter pecah dan mobil yang parkir dekat hotel ikut rusak. Dipastikan tiga orang meninggal dan lebih dari 30 orang mengalami luka-luka.
Sayang, operasi intelijen itu kurang persiapan jalur pelarian ke luar Singapura. Pada 13 Maret 1965, keduanya ditangkap di tengah laut. Kisah penangkapan sendiri terjadi ketika Usman dan Harun menaiki kapal curian menuju Pulau Sambu. Namun keburu terlihat patroli laut Singapura. Keduanya tidak disidang sebagai tahanan perang dengan alasan ketika ditangkap tidak memakai seragam tentara. Upaya pemerintah yang waktu itu salah satunya diwakilkan Mochtar Kusumaatmaja gagal meminta grasi.
Pada pukul 5 pagi, 17 Oktober 1968, Usman dan Harun akhirnya dieksekusi di tiang gantungan. Selesai itu, banyak warga Indonesia melakukan penghormatan jenazah di Kedutaan Besar Indonesia. Siangnya, kedua jenazah dibawa pesawat khusus dari Jakarta. Presiden Soeharto langsung memberikan penghargaan bagi Usman dan Harun sebagai pahlawan nasional. Keduanya pada 20 Oktober 1968 dimakamkan secara militer di Taman Makan Pahlawan Kalibata.
Memburuknya hubungan Indonesia dan Singapura sejak terkuaknya aksi heroik Usman dan Harun baru melunak ketika Perdana Menteri Lee Kuan Yew melakukan kunjungan ke Jakarta. Uniknya, ketika itu Perdana Menteri Lee secara resmi memberikan karangan bunga di makam Usman dan Harun.