Sekitar setahun yang lalu, tepatnya Mei 2013, ketika anak-anak The Country sedang keranjingan main ke tempat-tempat jauh. Jika agenda main biasanya hanya seputaran kota Bandung, maka kali ini The Country sedang demam Pantai. Semenjak jalan-jalan Gila ke Pantai Santolo, Country sepertinya ketagihan ingin main lebih jauh lagi ke tempat-tempat seru di seputaran Jawa Barat.
Saat itu Sabtu malam sudah menjadi kebiasaan bagi kita untuk menghabiskan Sabtu Malam bersama. Tapi entah angin darimana tiba-tiba malam itu terbersit keinginan untuk mengunjungi sebuah tempat yang agak jauh dari keramaian kota Bandung. Pantai memang asik, tapi pantai mana yang bisa ditempuh dari Bandung dengan cepat?
Malam itu jam 10 malam kami mulai searching ga jelas tentang tempat wisata yang unik dan jarang dikunjungi oleh wisatawan. Tentunya jangan yang terlalu jauh jaraknya dari kota Bandung. Terdamparlah kami di sebuah artikel (kami lupa judulnya) yang menceritakan tentang tempat bernama Puncak Guha. Seperti biasa, artikel di internet biasanya berisi photo-photo yang menggoda, dengan sedikit sentuhan photoshop (walaupun agak lebay). Beberapa artikel sempat saya kunjungi dan membandingkan kebenaran dan fakta tentang tempat itu. Dan kesimpulannya, memang tempat ini sepertinya asik buat dikunjungi
Tidak tanggung-tanggung malam itu juga kami sempat ingin langsung meluncur ke tempat itu. Puncak Guha berada di Jalur Selatan Pesisir Jawa Barat, tepatnya 2 km setelah Pantai Rancabuaya ke arah Pameungpeuk. Itu artinya kita akan menuju kabupaten Garut. Ke kabupaten Garut jam 10 malam!!
Aslina??
Awalnya kami sempat ragu dengan isi hati kami masing-masing. Jika diperkirakan dan berkaca pada pengalaman Jalan-Jalan ke Pantai Santolo, menuju Rancabuaya membutuhkan waktu sekitar 4 jam lewat jalur Pangalengan. Nah kalau pergi jam 10 malam artinya jam 2 malam kita sampai disana dengan keadaan gelap. No, Cancel!
Akhirnya kami putuskan untuk berangkat subuh saja. Setelah adzan subuh kami sepakat langsung meluncur ke TKP.
Namun karena sudah terbayang dengan pemandangan laut yang biru dengan suara ombak yang menggelegar, saat itu kami sudah tidak tahan untuk pergi. Walaupun saya sendiri berniat tidur sejenak agar besok bisa berangkat dalam keadaan fit, tapi mata ini malah semakin membayangkan birunya Laut dan segarnya angin pantai.
Well, akhirnya dengan sangat tidak sabar jam 3 dini hari kita berangkat menuju Puncak Guha!
Angin malam yang dingin menerpa merasuki tubuh. Walaupun dua lapis jaket masing-masing kami kenakan, tapi dinginnya Udara Bandung tak mampu kami tahan. Perjalanan dimulai dari SPBU Pasirkaliki, depan RS Hasan Sadikin, kami meluncur menuju arah Selatan. Membelah kota Bandung menuju Banjaran. Jalanan yang sepi membuat kami hanya membutuhkan waktu 30 menit saja menuju Pasar Banjaran. Berhentilah kami sejenak di sana sekedar membeli minum dan obat masuk angin untuk jaga-jaga. Setelahnya kami langsung meluncur menaiki jalanan menanjak menuju Pangalengan. Jalur ini sangat gelap dimalam hari ditambah jalanan yang berkelok kelok membuat mata ini hanya terpusat ke cat marka jalan di tengah-tengah yang menuntun kami melewati setiap lekukan jalanan menanjak menuju Pangalengan.
Jam setengah lima pagi kami sampai di daerah Cukul. Honda Beat punya Jimmy yang hanya bisa menampung 2.5 liter bensin di tangkinya sudah minta diisi lagi. Agak boros memang maticnya ini. Untungnya sudah ada penjual bensin eceran yang buka shubuh itu. Setelah diisi, kami meluncur lagi diiringi cahaya mentari yang mulai mengintip di Timur. Perjalanan menjadi lebih lancar karena hari mulai terang. Suasana pagi di desa terasa menyejukkan sekali. Jarang sekali bukan kita menikmati suasana pagi seperti ini dalam perjalanan?
Pagi itu hari Minggu, rupanya di daerah pedesaan juga terdapat pasar tumpah di daerah pusat atau biasa di sebut alun-alunnya. Banyak pemuda pemudi berlari pagi menyusuri jalanan dihiasi sawah yang hijau menyejukkan. Beda sekali dengan saya jika jogging melewati jalanan kota Bandung ditemani asap knalpot dan deretan pedagang kaki lima di Gasibu.
Pagi itu, bau asap dari "hawu" atau tungku sebagai alat memasak di pedesaan membuat saya benar-benar menikmati perjalanan ini. Terbayang di dapur rumah-rumah itu sedang memasak air dan juga nasi di "seeng" alat memasak nasi yang berbentuk tinggi ramping, bagian dalam berongga seperti silinder, bagian bawah membesar, bagian atas membesar, menyempit di tengah dan alasnya bundar agak cembung.
|
Seperti inilah bentuk seeng itu, tungku nya di sebut hawu |
Jam 7 pagi kami mulai bisa melihat garis pantai di kejauhan, di sebuah daratan tinggi sebelum menuju pantai Rancabuaya.
Perjalanan dilanjutkan menuju perempatan antara Rancabuaya, Pameungpeuk, Cidaun. Menurut artikel yang kami baca, Puncak Guha ada di 2km ke arah Pameungpeuk. Akhirnya kita berbelok ke kiri menuju arah Pameungpeuk. Pagi itu para pekerja yang sedang memperbaiki Jalur Pesisir Selatan Jabar sudah bersemangat memulai kerjanya walaupun di hari Minggu.
Alat-alat berat nampak berjejer di pinggir jalan. Batu, Pasir dan Aspal terlihat siap untuk diolah menjadi jalanan mulus. Mungkin kelak jalur ini akan ramai oleh para wisatawan yang ingin mengunjungi daerah Selatan Jabar ini.
Odometer terlihat sudah menunjukkan angka 2 km lebih dari perempatan tadi, nampaklah sebuah Gapura di Sebelah kanan jalan bertuliskan "Selamat Datang di Puncak Guha". Masuklah kami ke jalur itu. Nampak daerah menghijau seperti taman Telletubies. Terlihat di kejauhan Garis Horizon tersamar awan kelabu di pagi itu. Ternyata inilah Puncak Guha itu!
Puncak Guha adalah sebuah tempat berupa daratan yang menjorok ke laut atau bisa disebut sebagai tanjung. Tempat ini mirip Batu Hiu di daerah Pangandaran. Disebelah kanan dan kirinya terdapat muara sungai yang langsung mengalir ke laut. Dari tempat ini kita bisa langsung melepas pandangan ke arah Samudera Hindia dengan deburan ombaknya yang terkenal ganas. Bila anda berjalan sedikit ke arah bibir jurang, anda bisa melihat hempasan ombak yang pecah menabrak daratan dan butiran airnya tertiup angin membasahi wajah kita. Sungguh pengalaman yang jarang di dapat.
*bersambung