Hampir semua warga Jawa Barat mengenal sungai Citarum, terutama masyarakat yang tinggal di wilayah Kabupaten Bandung. Betapa tidak, sungai ini sering meluap dikala musim penghujan dan membanjiri wilayah Dayeuhkolot, Baleendah dan Bojongsoang. Selain itu, sungai ini menjadi korban dari para pengusaha yang tak bertanggung jawab yang menitipkan limbah dari pabrik-pabriknya ke sungai ini. Akibatnya ribuan meter kubik bahan kimia mengalir tiap jam bersamanya menuju Situ Saguling di wilayah Cianjur.
Namun tahukah anda dari manakah sungai ini berasal?
|
Pemandangannya begitu indah, menghijau di kaki gunung Wayang, terletak 30 km dari Ciparay, atau sekitar 60 km dari Bandung. Tempat ini masih belum dikenal oleh masyarakat Bandung |
Citarum merupakan sungai terpanjang di Jawa Barat yang mengalir dari hulunya di Situ Cisanti, Kabupaten Bandung, tepatnya di Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung. Letaknya di kaki Gunung Wayang, sekitar 60 km di Selatan Kota Bandung. Terakhir kali saya mengunjungi tempat ini di bulan Nopember 2012 tepat di saat-saat terakhir musim kemarau.
Untuk menuju tempat ini ada dua pilihan jalan yang bisa ditempuh, pertama lewat jalur Ciparay-Pacet-Kertasari atau lewat jalur Pangalengan-Santosa-Kertasari. Namun karena akses jalan dari Bandung lebih dekat ke Jalur Ciparay, maka sebaiknya jalur Ciparay lah yang dipilih.
Waktu itu tepat hari Jumat, 16 Nopember 2012 ketika saya mengunjungi tempat ini bersama dua orang teman. Start dari rumah saya di daerah Ciparay sekitar jam setengah sembilan pagi. Jarak dari rumah saya di Ciparay cukup dekat, sekitar 30 km atau satu jam perjalanan dengan sepeda motor karena jalan yang ditempuh kebanyakan menanjak dengan kondisi jalan yang tidak terlalu baik. Dari Alun-alun Ciparay perjalanan berlanjut dengan mengambil jalan ke kanan menuju kecamatan Pacet. Di Alun-alun Ciparay akan ada penunjuk arah menuju Pacet, yakni ke arah Selatan menyusuri jalan Raya Ciparay - Pacet. Jika anda ingin menggunakan angkutan umum, anda bisa naik angkot jurusan Ciparay - Pacet, tetapi karena saya belum pernah mencobanya, saya tidak terlalu hapal berapa ongkos yang harus dikeluarkan jika naik angkutan ini dari Ciparay sampai Pacet.
Dari Ciparay, perjalanan akan ditemani hamparan sawah di kanan jalan dengan Gunung Malabar yang menjulang tinggi di kejauhan. Di sepanjang jalan ini juga terdapat banyak kolam pembibitan ikan air tawar, mulai dari ikan mas, mujair, sampai ikan Lele pun ada. Atau jika anda ingin mencari tempat untuk memancing ikan, disini pun banyak kolam-kolam yang disewakan untuk memancing ikan.
Perjalanan di jalur ini, kami melewati jalan yang lurus dengan sedikit menanjak. Kami melewati jalur ini dengan santai karena tidak ada yang kami kejar, yang penting bisa sampai di tujuan dengan selamat.
Tak berapa lama kami sampai di Alun-alun Pacet atau tepatnya di daerah pasar Maruyung. Walau sudah menginjak siang hari, pasar ini masih ramai dikunjungi sehingga sedikit kemacetan terjadi. Setelah melewati pasar ini, jalur yang dilewati mulai menantang. Jalur berkelok dengan lubang di beberapa tempat membuat kami harus sedikit bermanuver dalam mengendarai sepeda motor. Jarum Speedo meter pun tak kuasa untuk melewati angka 40 karena laju ban selalu tertahan kampas rem yang tak mau berlama-lama membiarkan roda leluasa berputar. Bersyukur sekarang jalur ini relatif lebih baik dibandingkan dengan beberapa tahun kebelakang. Beberapa kilometer jalan bahkan sudah mulai dibeton untuk menghindari kerusakan parah yang sering terjadi di sini.
|
Jalan menanjak menuju kecamatan Kertasari, pemandangan sekitar dihiasi pegunungan yang disulap jadi kebun sayur, terlihat gunung di belakang saya sudah hampir semua digunduli |
|
pelan-pelan semua pasti berubah menjadi perumahan penduduk |
Di jalur antara Pacet dan Kertasari yang berkelok-kelok sesekali kami melepas pandang ke arah Timur, dimana Gunung Rakutak tinggi menjulang dengan punggungan sempitnya yang terkenal. Namun melihat ke arah kaki gunungnya di sebelah Utara terlihat hutannya mulai digunduli. Semuanya disulap menjadi perkebunan sayur dan Palawija. Kebanyakan ditanami bawang dan yang lainnya sedang dicangkuli, siap untuk ditebar benih. Miris melihat daerah hulu sungai Citarum kerusakannya sudah seperti ini. Pantas saja jika sering terjadi longsor dan jalan rusak karena jika hujan turun agak deras, limpahan air akan mengalir begitu deras membawa tanah yang berubah menjadi lumpur menyusuri jalan. Jalan aspal yang mulus pun tak akan lama akan berubah menjadi jalur OFF ROAD. Semoga saja jalan yang saat ini sudah mulai dibeton akan kuat bertahan lama sehingga jika ingin berkunjung ke daerah Kertasari ini kita bisa duduk dengan nyaman tanpa harus mengaduk-aduk isi perut karena jalan yang rusak.
|
Plang di pintu masuk Situ Cisanti, konon disini pernah menjadi tempat persinggahan Dipati Ukur. Situs Petilasan Makam Eyang Dipati Ukur, sebenarnya bukan tempat penguburan jasad, melainkan hanya sebagai salah satu tempat yang pernah digunakan Dipati Ukur dalam masa-masa perjuangan menghadapi pasukan Mataram. |
|
beginilah kira-kira pintu masuk Situ Cisanti, lengkap dengan stiker Caleg Pemilu entah taun berapa. Dan coretan Pilox nya entah ulah siapa, yang jelas itu sudah menjadi hal yang biasa di tempat-tempat wisata di Bandung |
Tiga puluh kilometer berlalu, kita akan disambut wilayah hutan Pinus. Tak berapa lama sampailah di tempat yang bernama Situ Cisanti yang ada di sebelah kanan Jalan. Dari pinggir jalanpun, keindahannya sudah nampak dengan Gunung Wayang sebagai latarnya.
Memasuki tempat ini kita diharuskan membeli tiket seharga 3500 rupiah. Tempatnya yang sepi membuat suasana di sini terasa hening. Jauh berbeda ketika perjalanan kami tadi yang penuh dengan suara deru sepeda motor yang kami naiki. Hamparan air yang jernih nampak begitu luas. Wangi asri hutan pinus dengan udaranya yang sejuk memanjakan kami di sini.
|
rasanya tak percaya jika aliran sungai Citarum yang sering berubah-rubah warna dan bau, dicemari sampah dan bahan kimia itu berasal dari tempat seindah ini. |
|
hutan sekelilingnya masih menghijau dan masih benar-benar terjaga |
|
selagi masih ada, ayo kita nikmati dan lindungi |
Dengan kail dan joran yang saya bawa dari rumah saya coba memancing ikan di Danau ini agar rela tubuhnya dinikmati. Saya gunakan umpan dari keong mas yang melimpah di pinggiran Danau ini. Sementara saya memancing, dua orang teman saya lainnya sedang membuat api untuk membakar ubi yang dibawa dari rumah. Tak cocok memang menyantap ubi bakar di tengah hari seperti ini, tetapi demi mengisi perut yang sudah terasa berkurang isinya, apapun makanannya siap kita nikmati.
|
walaupun susah dapet ikan, tapi tetap dinikmati. Memancing itu melatih kesabaran :D |
|
umpan mancingnya kita pakai keong mas aja, banyak koq di sini.. :D |
|
siap-siap bakar ikan hasil tangkapan. Atau kalau ikannya ga dapet, kita bisa bawa ubi atau singkong ke sini untuk sekedar menikmati ubi atau singkong bakar di pinggir danau. Sensasinya bisa anda rasakan sendiri.. |
Sebenarnya tak pernah terbayangkan sebelumnya jika sungai Citarum yang pekat akan limbah itu berasal dari tempat seindah ini. Namun melihat kenyataanya memang Tuhan memberikan mata air sejernih di sini kepada kita, Tuhan memberikan nikmatnya kepada kita, hanya kita sebagai manusia yang kurang bersyukur sehingga sebenarnya kita sendirilah yang membuat bencara itu terjadi.
Artikel keren lainnya: